11 trah dan sarasilah babad caringin, elang sutawinata

11 sarasilah babad caringin





 




 


Dengan rakhmat Tuhan Yang Maha Esa dan
Atas nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang
Semoga para leluhur memperoleh keselamatan dan anugerah
dan semoga kami pantas untuk mengemban segala warisannya

Sarasilah Caringin
Ini adalah trah dan sarasilah para leluhur di kawasan Caringin
yang sejarahnya telah mewarnai corak kehidupan di tempat ini
dan kehadirannya dirasakan melalui pengucapan nama penuh hormat
serta diketahui melalui segala petilasan peninggalan mereka
Berbagai tokoh dan nama keturunan telah hadir di Caringin
baik ulama maupun prajurit, orang saleh maupun jawara
dari trah Kalijaga dan Ngampel Denta, juga dari darah agung Siliwangi
dan tidak ketinggalan pula para pahlawan perkasa dari Mataram
disertai dengan banyak para tokoh dari wetan lainnya
Mereka semua telah meninggalkan jejaknya di Bumi Caringin
yaitu jejak dan tapak yang pantas dipelihara dan diikuti
Demikianlah kini akan diuraikan secara rapi berurutan
para nenek moyang yang dahulu telah membuat sejarah di kecamatan ini

Dari trah Kalijaga datanglah Eyang Sapujagad, yaitu Kyai Langlangbuwana
yang menikah dengan Setiyadiningsih atau Hadityaningsih
yaitu putri yang di petilasan Cileungsi disebut Kembang Cempaka Putih
dan pada petilasan Babakan diberi gelar Dewi Kembang Kuning
maka kedua suami istri inilah yang telah menurunkan Kyai Elang Bangalan
yang telah datang dan seterusnya menetap di daerah Lemah Duhur

Kemudian daripada itu Elang Bangalanpun menurunkan empat orang anak
yang tertua adalah Arya Sancang di Garut-Pameungpeuk
diikuti oleh Eyang Badigul Jaya Pancawati, Ayah Ursi Pancawati dan Eyang Ragil Pancawati
maka ketiga anak yang lebih muda itu turut menjadi cikal bakal Caringin
serta meninggalkan kenangan di Pasir Karamat yang diluhurkan

Anak tertua Eyang Badigul Jaya adalah Ayah Iming, yaitu Kyai Haji Sulaiman
yang makamnya masih dapat ditemukan di Kebun Tajur
Anak yang kedua dinamakan Umaenah,
yaitu istri Eyang Ranggawulung atau Rangga Agung
maka suaminya itulah yang menjadi leluhur di Cimande-Tarik Kolot
Anak yang ketiga dinamakan Romiah yang dinikahi oleh Eyang Buyut Umang,
yaitu sebagaimana ia disebut di Caringin,  karena di Cinagara ia disebut Aki Degle
adapun Eyang Buyut Umang itu adalah putra Ki Kastiwa, cucu Ki Kaswita,
cicit Suwita, dan turunan pahlawan Jaka Sembung,
yaitu suami Roijah gelar Bajing Ireng
sedangkan Eyang Buyut Umang sendiri juga telah menurunkan dua orang anak,
yaitu Aki Eming yang dipusarakan di makam Gede di Tonggoh
dan Aki yang dipusarakan di Cipopokol Hilir, Pasir Muncang
Selanjutnya, anak keempat Badigul Jaya adalah Samsiah,
yang menikah dengan Aki Kartijan
dan anak kelima adalah Amsiah yang menikah dengan Bayureksa
yang disebut juga Reksabuwana, yaitu putra Radyaksa,
cucu Jayadiningrat dari Mataram
ialah pahlawan perkasa yang petilasannya terdapat di Tanjakan Ciherang
maka Bayureksa dan Amsiah menurunkan Ki Ranggagading dan Ki Kumpi
yang kedua-duanya dimakamkan di kawasan Cigintung-Caringin
Akhirnya, anak kelima Aki Badigul Jaya adalah ibu Esah,
yang menikah dengan Aki Bangala
yaitu putra Aki Jepra atau Ki Kartaran, dan cucu Aki Kahir,
tokoh dunia persilatan

Selanjutnya, dari trah Raden Rakhmatullah Sunan Ngampel Denta diturunkanlah Ki
Karmagada yang menurunkan Ki Karmajaya,
yaitu ayahanda Ki Kartawirya
yang berasal dari Jampang-Surade dan telah datang ke Lemah Duhur,
untuk menetap di Legok Antrem
adapun Ki Kartawirya itu disebut pula Haji Akbar
ia menurunkan Marunda dan Marunda menurunkan Murtani
dan seterusnya Murtani menurunkan Pitung, jago silat dari Rawa Belong

Diriwayatkan pula bahwa Ki Kartawirya memiliki istri bernama Nyi Antrem
yang namanya telah diabadikan dalam nama Legok Antrem sasaka kami
Maka Nyi Antrem itu pun berasal dari satu keturunan dengan suaminya
sebab leluhurnya, yaitu Sekh Japarudin, juga berasal dari trah Ngampel Denta
Sekh Japarudin menurunkan Ki Kartaji dan Ki Kartaji menurunkan Aji Tapak Ireng
selanjutnya Aji Tapak Ireng menurunkan lima orang anak
Pertama adalah Aji Wisa Ireng yang juga disebut Haji Aleman
Kedua Aji Wisa Kuning, ketiga mbah Ambani, keempat Ki Anom
dan kelima ibu Ucu yang diperistri oleh Ayah Haji Abdul Somad,
leluhur di Cimande-Tarik Kolot
Keluarga dan turunan inilah yang menjadi asal-usul masyarakat di Curuk Dengdeng
maka dari Aji Wisa Irenglah ibu Antrem diturunkan ke dunia
yaitu ibu Antrem yang telah dipusarakan di kawasan Legok Antrem

Adapun Ki Karmagada juga menurunkan anak lelaki adik Ki Karmajaya
yang kemudian menurunkan Ki Jaka Kadir, yaitu tokoh yang dipusarakan di Leuweung Ki Maun, yang
terletak di atas Legok Antrem
        Seterusnya Ki Jaka Kadir menurunkan Ki Jaka Bledek, leluhur kampung Bendungan di Kampung Tajur
Demikianlah itu tentang para leluhur dan pendahulu
yaitu mereka semua yang berasal dari trah Ngampel Denta.


Seterusnya sebagaimana diriwayatkan oleh mereka yang mengerti sejarah
mengalir pula darah leluhur Siliwangi pada diri para leluhur di Caringin
mewarnai jalan kehidupan masyarakat dan memancarkan kesejatian rasa
membangkitkan kesucian sikap dan menaikkan kebajikan laku
Maka inilah keluarga para jawara yang menghubungkan Siliwangi dan Caringin
menghubungkan masa lalu dan masa kini serta mengarahkan masa depan

Sang Ratu Jaya Dewata Prabu Siliwangi menikah dengan Nyi Ratu Subangkarancang
dan menurunkan tiga orang anak, yaitu dua orang lelaki dan seorang wanita
anak yang tertua adalah Pangeran Arya Santang, Panembahan Cakrabuwana
anak yang kedua adalah Nyi Rara Santang ibunda Syarif Hidayatulah
dan anak yang ketiga adalah Kian Santang atau Prabu Sagara
atau Sunan Rakhmat Suci di gunung Godog
yang disebut Sekh Kuncung Putih di Cibadak-Pangasahan
maka ia itulah leluhur seorang tokoh bernama Elang Sutawinata
[Back]

Adapun Elang Sutawinata yang disebut di atas menurunkan tujuh orang anak
pertama adalah Jaka Sembung yang menikah dengan Roijah gelar Bajing Ireng
kedua adalah Jaya Perkosa yang menjadi patih Prabu Geusan Ulun di Sumedang Larang
        seorang istrinya bernama Mulantri dan salah seorang anaknya pernah hadir di Caringin
yaitu yang disebut Aki Palasara, disebut Aki Kabayan, disebut Ki Jambrong
        yang memiliki petilasan di Kebon Tajur, di atas Legok Antrem, lalu di Legok Jambrong
        dan juga memiliki petilasan di Legok Batang, di kawasan Citaman, di desa Tangkil
Selanjutnya anak ketiga Elang Sutawinata adalah Aki Kahir
yang nama-nama dan petilasan-petilasannya akan diuraikan di bawah
anak keempat adalah Eyang Ranggawulung leluhur di Tarik Kolot
anak kelima Aki Dato di Bantar Jati dan Pondok Pinang
anak keenam Sekh Sake di petilasan di Citeureup
dan anak ketujuh Pangeran Papag yang menikah dengan Sari(w)uni, putri Ki Hambali

Sembilan nama dan sembilan petilasan dimiliki anak ketiga Elang Sutawinata
Aki Kahir di Bogor-Tanah Sareal, Sekh Majagung di Cirebon
Pangeran Jayasakti di Batu Tulis, Gentar Bumi di Pelabuhan Ratu
        Aki Euneur di Pangasahan, Cikidang, Cipetir
        dan Eyang Kartasinga-Wirasinga di Tarik Kolot
Aki Dalem Macan di Citeureup, Eyang Pasareyan di Cidahu, Cibening, Ciampea
dan yang kesembilan dan terakhir adalah Ki Jambrong di Cirebon

Maka Aki Kahir menurunkan anak lelaki bernama Ki Kartaran
yang berganti sebutan menjadi Ki Jepra sekembalinya dari pertempuran
di Tegal Jepara
ia dipusarakan pada dua petilasan di dua tempat
sebuah di Kebun Raya Bogor dan sebuah lagi berupa makam putih
di Cimande Hilir
Ia menurunkan empat orang anak, seorang lelaki dan tiga orang wanita
yang tertua adalah Aki Bangala yang menikah dengan uwak Esah
yang kedua dalah Nini Sarinem di Ciherang-Limus Nunggal
disebut Sri Asih di Cirebon dan Nini Sarem di Cileungsi
suaminya adalah Kyai Ajiwijaya dari Plered-Purwakarta
yang ketiga adalah Nini Sayem di Ciherang-Limus Nunggal
yang menikah dengan Ki Puspa dari Cirebon
yaitu tokoh yang dihubungkan dengan Kuda Puspagati dari petilasan Pasir Kuda di Lemah Duhur
dan yang keempat adalah Nini Sarimpen di Garut
yaitu istri Banaspati, seorang panglima Panembahan Sabakingkin dari Banten

Selanjutnya dikisahkan pula bahwa Rangga Wulung,
anak keempat Elang Sutawinata
menurunkan lima orang anak yang masing-masing disebut sebagai berikut:
Aki Ondang, Aki Buyut, Aki Anom, Aki Suma dan Aki Ace
dan diriwayatkan pula bahwa ketika Eyang Rangga Wulung memasuki Caringin
ia diiringi oleh Ajengan Kuningan dan Ki Age
yang keduanya dimakamkan di Kebun Tajur, di sebelah atas Legok Antrem
Kemudian daripada itu berniatlah kami kini
untuk mengurutkan garis keturunan Arifin
yaitu seorang rekan pengawas di Bina Kertajaga Siliwangi Anom
baik dari garis ayahnya maupun dari garis ibundanya

Para leluhur dari pihak ibunya adalah sebagai berikut:
Elang Sutawinata menurunkan Ranggawulung,
yang menurunkan Ki Ace, yang kemudian menurunkan
Ayah Haji Abdul Somad, yang kemudian menurunkan
Haji Ajid, yang menurunkan Hajjah Kuraisin, istri Ki Lurah Uji, yang menurunkan
ibu Enen, anak angkat Haji Atap, istri bapak Ubeh Subandi

Sedangkan para leluhur dari pihak ayahnya adalah sebagai berikut:
        Elang Sutawinata menurunkan Aki Kahir, yang menurunkan Ki Jepra, yang kemudian menurunkan Nini Sayem di Limus Nunggal
Selanjutnya Nini Sayem menurunkan Ki Rasiun, yang menurunkan
Ki Sarian, yang menurunkan Ki Jaian dan Ki Jaiin
Seterusnya Ki Jaiin menurunkan Ki Haji Muat
        yang menurunkan Ki Kaeji Haji Akhmali, yang dahulu memiliki Legok Antrem dan juga mendirikan
 persatuan pencak silat Hibar Karuhun
Maka Haji Akhmali itu dahululah yang membawa pengaruh Tarik Kolot
ke sekitar desa Cikalang
dan dia adalah ayah Ki Haji Barnas, bapak Ubeh Subandi dan adik-adiknya
Selanjutnya, dari Cikalang di desa Caringin kami mengalihkan uraian
ke pemakaman tua di desa Cinagara, yang terletak dibawah pohon rindang
di situ disemayamkan Mbah Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan, istrinya
Seseorang meriwayatkan kepada kami tentang Mbah Dalem
        yang dikatakan berasal dari Jawa Timur dan disebut dengan nama Eyang Adeg Daha
tetapi seseorang lainnya mengisahkan silsilah Mbah Dalem sebagai berikut:

Dari trah Brawijaya, melalui trah Kalijaga diturunkan Raden Tresna
yang disebut juga Pandewulung dari Kudus
Ia menurunkan Sekh Japarudin dari Mataram
yang menurunkan Sekh Sekh Abdul Muhi dari Pamijahan
        yang selanjutnya menurunkan Sekh Mohammad Abdul Sobirin,
yaitu Mbah Dalem Cinagara
pepunden masyarakat di Dukuh Kawung

Demikianlah itu Sarasilah Caringin sebagaimana telah diuraikan
oleh Ki Jumanta dari Cikodok, yang sangat tekun mendalami sejarah
sekarang diurutkan pula nama-nama tempat dan desa
tempat para Karuhun di pusarakan dalam damai

Di Lemah Duhur dan Pancawati:
Eyang Kartasinga, Ki Sarian dan Ki Rasiun di Tarik Kolot.
        Eyang Ranggawulung dan putra-putranya, beserta ayah Haji Abdul Somad di Tarik Kolot.
Eyang Badigul Jaya, ayah Ursi dan Eyang Ragil di Pancawati.
Eyang Rasiyem di Legok Mahmud.
Aki Anyar dan Nini Siti Mastiyah di Tanjakan Saodah.
        Pangeran Jayakarta, putra Wijayakrama, yang memiliki petilasan di Pulo Gadung, berputra Eyang
 Sagiri, yang petilasannya terdapat di Bojong Katon.
Eyang Bangalan di Cikodok, Kampung Legok.
Ki Jaka Kadir dan Ki Jaka Bledek di Legok Antrem.
Nyi Antrem dan Ki Kartawirya di Legok Jambrong.
Ajengan Kuningan, Haji Sulaiman ayah Iming, uwak Esah anak Badigul Jaya,  Aki Age, Setyawati Kusumah
 dari Mataram dan Ki Jambrong anak Jaya Perkosa, semuanya di Kebun Tanjur.

Di Cimahi Jaya:
Tidak ada yang tercatat telah dipusarakan di tempat ini.

Di Pancawati:
Aki Ariyam dan Ki Suwita di Legok Nyenang.

Di Ciherang Pondok:
Nini Amsiah di tengah kawasan desa.
Haji Abdul Kohar atau Mbah Ageng di perbatasan Ciawi.
Nini Sarinem di Blitung-Cikeretek.
Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong di Cibolang.

Di Muara Jaya:
Batara Kresna, Aki Arya Kusuma di Rawayan.
Adipati Wirasembada di Kampung Nyenang, dan mbah Muhi.

Di Pasir Muncang:
Aki Wirakerta dari Kuningan, Nini Antri, putri Ki Anyar, cucu Sekh Asnawi di Cipopokol Girang.
Aki Aliyun di Cipopokol Hilir.
Suryadiningrat, cucu Sekh Malik Ibrahim di Ciburial.

Di Cinagara:
Raden Suryapadang di Kampung Curuk Kalong.
Mbah Dalem Cinagara dan Mbah Dalem Asihan di Dukuh Kawung.

Di Tangkil:
Aki Degel, Haji Muid, dan Ni Jabon, istri Suryadiningrat di Kampung Loji.
Nini Rasa dan Ki Jambrong di Legok Batong, yang juga disebut Aki Palasara.

Di Pasir Buncir:
Batara Karang atau Pangeran Jayataruna dari Ponorogo.

Di Ciderum:
Bango Samparan dari Ponorogo, kakak dalang Asmorondono, dan Ki Kastiwa.

Di Caringin:
Galuh Pakuan atau Walasungsang atau Cakrabuwana; Ki Kartaji; Aji Tapak Ireng; Aji Wisa Ireng, dan Aji
Wisa Kuning di Kampung Curuk Dendeng.
Ki Umang, Aki Ranggading, dan Ki Kumpi di Cigintung.

Di Cimande Hilir:
Reksabuwana atau Bayureksa di tanjakan Ciberang, dan Eyang Bangala.

Demikianlah selesai kami urutkan
sarasilah, nama tokoh dan petilasan di Caringin
[Back]


Babad Caringin
Ucapkanlah Asma Yang Maha Agung di Pasir Karamat
kagumilah alam pada batu besar di Pancawati
hormatilah peninggalan yang sangat tua di Pasir Kuda
bersemadilah pada goa dengan air terjun di jurang Citaman
pergilah menapak tilas kelima tempat Siliwangi di sepanjang Cisalada
hingga ke Curuk Merot
pelajarilah warisan Cimande pada guru yang rendah hati
Kunjungilah Bumi Kawastu untuk merundingkan perjuangan
datanglah ke Legok Antrem untuk mempererat persaudaraan
dan dengarkanlah dengan teliti isi kisah babad Caringin
yaitu Caringin Kurung dari masa lalu
dan Caringin Kurung dari masa yang akan datang
Kemudian dengan tekad membaja dan semangat membantu negara
bersama-sama mengucapkan manggala,
sebagaimana telah disusun di Sasaka Antrem:

"Kertajaga Bumi Kawastu, Mugi rahayu di Legok Antrem, Mugi jaya di Tegal Laga, Mejangkeun teras hibar Karuhun"

Semoga semua rela menata dengan jujur
Semoga memperoleh harta rohani dalam bejana budi pekerti
yang mendatangkan ketentraman, yang mendatangkan kesejahteraan

Inilah riwayat babad Caringin, babad yang telah disampaikan dari yang tua kepada yang muda:

Dari ketinggian di Sasaka Jati Pasir Karamat memandang ke bumi Pakuan
memohon dan memperoleh terang batin: "Surya Padang Caang Narawangan"
menghargai dengan hormat Bukit Baduga di Rancamaya
menyaksikan dengan kagum Mandala Keratuan di Batu Tulis
melayangkan pikiran ke Watu Gigilang, yang kini terletak di negeri Banten
meneliti perjalanan sejarah di dataran yang berada di antara kedua gunung

Di sini pernah terjadi gejolak dan gemuruh peperangan
ketika terdengar kabar berlangsungnya perang antara Pajajaran dan Banten
juga ketika kemudian tentara Banten meliwati daerah
menuju Cikundul untuk menyerbu
Begitu pula para prajurit, perwira dan tokoh-tokoh persilatan
yang turut mengalami api perubahan jaman dan bergantinya masa; seterusnya menanamkan ciri dan corak keperkasaan ketika bermukim di Caringin
membanggakan keberanian dan kejantanan
di samping ketakwaan dan kesalehan
yaitu semangat keprajuritan sebagaimana terkandung dalam sasmita-kata:

"Bojong Katon Pasir Bedil Lemah Duhur Pangapungan Pancawati Denda"

Ratusan tahun yang lalu berdiri sebuah tangsi tentara Mataram
yaitu di tempat yang sekarang disebut Pasar Caringin
yaitu pada jalan yang menuju ke Maseng, Pasir Bogor,
lalu Cihideung dan Kota Bogor
Jauh sebelum jalan mulai menanjak dan berbelok-belok
di situlah bersemayam Tumenggung Wiranegara
pemimpin pasukan dari wetan yang gagah perkasa
yang sedang berusaha keras menahan pengaruh dari kota di utara
sebagai perwira Mataram dan sebagai kusuma bangsa
sebagai tokoh perjuangan yang tak lelah berkarya

Kapan dan bagaimana para perwira Mataram tiba
tentunya ditanyakan peristiwanya oleh banyak orang
walaupun benar dan tidaknya itu masih sulit ditentukan
tetapi beberapa bukti menunjukkannya sebagai kemungkinan

Pada tahun 1628 dan 1629 tentara Mataram dan Sunda
datang menyerbu kedudukan Belanda di Negeri Betawi
pada kedua peristiwa itu mereka akhirnya dipukul mundur
Karena kalahnya persenjataan dan terbakarnya gudang-gudang makanan
ingin kembali ke timur jalan laut terhalang armada kompeni
maka terpaksa mengambil jalan darat di sepanjang pegunungan tengah
pada peristiwa itulah mereka meninggalkan nama dan bekas

Rawa Bangke tempat gugurnya ribuan pasukan
Matraman tempat mereka bermukim beberapa lama
Ragunan yang bukan tidak mungkin berasal dari nama Wiragunan
lalu adanya beberapa makam dan petilasan Kuno di Caringin
seperti Bayurekso-Reksobuwono di tanjakan Ciherang ia di pusarakan
dan ia disebut sebagai anak Radyaksa, cucu Jayadiningrat dari Kartasura

Kembali kepada periwayatan babad Caringin Kurung
katanya tangsi tentara Mataram itu dikurung tembok
dan di dalamnya ditanam pohon Caringin atau Beringin
yang dengan demikian melahirkan nama Caringin Kurung
Menurut kisahnya tempat itu pernah digadaikan kepada Belanda
yang menolak untuk menyerahkan kembali ketika hendak ditebus
karena itu muncul sengketa yang berkepanjangan
yang akhirnya pecah menjadi suatu pertempuran panjang

Semua kekuatan pribumi baik yang gaib maupun nyata dikerahkan
untuk merebut Caringin Kurung dan mengembalikan hak Wiranegara
dari kampung Gembrong di belakang Maseng Arya Wiryakusuma membantu
juga Suryakancana yang di luhurkan di kabupatian Bogor
di Pasir Muncang-Muara Jaya tegak berdiri Batara Kresna
Ki Kartaji, Aji Tapak Ireng dan Aji Wisa Ireng di Curuk Dengdeng
tidak ketinggalan pula Galuh Pakuan yang dihadirkan
untuk memperkuat seluruh pasukan-pasukan pribumi
Jaka Kadir dan Jaka Bledek menahan jalan di Legok Antrem
Eyang Bangala di Cimande Hilir, Ranggawulung di Pancawati
serta Aki Ranggagading dan Ki Kumpi di Cigintung-Caringin
hanya satu tokoh pribumi memilih untuk memihak Belanda
yaitu Hadikusuma, putra Tubagus Gelondong, di Cikeretek-Cibolang
Dalam adu senjata di hibar Caringin pada medan laga di bumi Pakuan itu
karena kehendak Yang Maha Kuasa
pasukan pribumi tak berhasil mencapai maksudnya
Bersama dengan perjalanan waktu yang mengikis dunia kebendaan
lenyap pula tempat dilingkup tembok dimana terdapat pohon beringin itu
tetapi rupanya tetap dikenang lalu dilontarkan ke masa depan
dijadikan ramalan melalui kata-kata orang tua :

"Lamun geus ngadeg Caringin Kurung, didieu bakal rame, didieu bakal makmur"

Demikianlah babad Caringin Kurung menurut penuturan Ki Jumanta
benar tidaknya kiranya hanyalah Tuhan yang mengetahui
tetapi satu hal saja hendaknya jangan dilupakan oleh para pewaris
ini adalah tanah perjuangan, tanah keperwiraan dan tanah keperkasaan
Ini adalah tanah orang yang beribadah, bekerja keras dan membangun kemuliaan
Karena itu bangkitlah untuk Caringin, untuk tanah air dan untuk masa depan

Semoga menerima berkat Yang Maha Kuasa … Semoga memperoleh restu para pendahulu
… Semoga mewarisi semangat para leluhur!
Jakarta, 1987

[Back]




Comments