KLASIFIKASI STRATEGI BELAJAR-MENGAJAR
6 April 2010
Klasifikasi Strategi Belajar-Mengajar, Berdasarkan
Bentuk dan Pendekatan:
1. Expository dan Discovery/Inquiry :
“Exposition” (ekspositorik) yang berarti guru hanya memberikan informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru sehingga siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya itu, disebut ekspositorik. Hampir tidak ada unsur discovery (penemuan). Dalam suatu pengajaran, pada umumnya guru menggunakan dua kutub strategi serta metode mengajar yang lebih dari dua macam, bahkan menggunakan metode campuran.
“Exposition” (ekspositorik) yang berarti guru hanya memberikan informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru sehingga siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya itu, disebut ekspositorik. Hampir tidak ada unsur discovery (penemuan). Dalam suatu pengajaran, pada umumnya guru menggunakan dua kutub strategi serta metode mengajar yang lebih dari dua macam, bahkan menggunakan metode campuran.
Suatu saat guru dapat menggunakan strategi
ekspositorik dengan metode ekspositorik juga. Begitu pula dengan
discovery/inquiry. Sehingga suatu ketika ekspositorik – discovery/inquiry dapat
berfungsi sebagai strategi belajar-mengajar, tetapi suatu ketika juga berfungsi
sebagai metode belajar-mengajar.
Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan
menyampaikan pesan berturut-turut sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila
guru ingin banyak melibatkan siswa secara aktif. Strategi mana yang lebih
dominan digunakan oleh guru tampak pada contoh berikut:
Pada Taman kanak-kanak, guru menjelaskan kepada
anak-anak, aturan untuk menyeberang jalan dengan menggunakan gambar untuk
menunjukkan aturan : Berdiri pada jalur penyeberangan, menanti lampu lintas
sesuai dengan urutan wama, dan sebagainya. Dalam contoh tersebut, guru
menggunakan strategi ekspositorik. Ia merigemukakan aturan umum dan mengharap
anak-anak akan mengikuti/mentaati aturan tersebut.
Dengan menunjukkan sebuah media film yang berjudul
“Pengamanan jalan menuju sekolah guru ingin membantu siswa untuk merencanakan
jalan yang terbaik dan sekolah ke rumah masing-masing dan menetapkan peraturan
untuk perjalanan yang aman dari dan ke sekolah.
Dengan film sebagai media tersebut, akan merupakan
strategi ekspositori bila direncanakan untuk menjelaskan kepada siswa tentang
apa yang harus mereka perbuat, mereka diharapkan menerima dan melaksanakan
informasi/penjelasan tersebut. Akan tetapi strategi itu dapat menjadi discovery
atau inquiry bila guru menyuruh anak-anak kecil itu merencanakan sendiri jalan
dari rumah masing masing. Strategi ini akan menyebabkan anak berpikir untuk
dapat menemukan jalan yang dianggap terbaik bagi dirinya masing-masing. Tugas
tersebut memungkinkan siswa mengajukan pertanyaan pertanyaan sebelum mereka
sampai pada penemuan-penemuan yang dianggapnya terbaik. Mungkin mereka perlu
menguji cobakan penemuannya, kemungkinan mencari jalan lain kalau dianggap
kurang baik.
Dan contoh sederhana tersebut dapat kita lihat
bahwa suatu strategi yang diterapkan guru, tidak selalu mutlak ekspositorik
atau discovery. Guru dapat mengkombinasikan berbagai metode yang dianggapnya
paling efektif untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Discovery dan Inquiry :
Discovery (penemuan) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan inquiry (penyelidikan). Discovery (penemuan) adalah proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Proses mental misalnya; mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan dan sebagainya. Sedangkan konsep, misalnya; bundar, segi tiga, demokrasi, energi dan sebagai. Prinsip misalnya “Setiap logam bila dipanaskan memuai”. Inquiry, merupakan perluasan dari discovery (discovery yang digunakan lebih mendalam) Artinya, inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya; merumuskan problema, merancang eksperi men, melaksanakan eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis data, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
Discovery (penemuan) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan inquiry (penyelidikan). Discovery (penemuan) adalah proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Proses mental misalnya; mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan dan sebagainya. Sedangkan konsep, misalnya; bundar, segi tiga, demokrasi, energi dan sebagai. Prinsip misalnya “Setiap logam bila dipanaskan memuai”. Inquiry, merupakan perluasan dari discovery (discovery yang digunakan lebih mendalam) Artinya, inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya; merumuskan problema, merancang eksperi men, melaksanakan eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis data, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
Selanjutnya Sund mengatakan bahwa penggunaan
discovery dalam batas-batas tertentu adalah baik untuk kelas-kelas rendah,
sedangkan inquiry adalah baik untuk siswa-siswa di kelas yang lebih tinggi. DR.
J. Richard Suchman mencoba mengalihkan kegiatan belajar-mengajar dari situasi
yang didominasi. guru ke situasi yang melibatkan siswa dalam proses mental
melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi, seminar dan sebagainya. Salah
satu bentuknya disebut Guided Discovery Lesson, (pelajaran dengan penemuan
terpimpin) yang langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Adanya problema yang akan dipecahkan, yang
dinyatakan dengan pernyataan atau pertanyaan
b. Jelas tingkat/kelasnya (dinyatakan dengan jelas tingkat siswa yang akan diberi pelajaran, misalnya SMP kelas III)
c. Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa melalui keglatan tersebut perlu ditulis dengan jelas.
d. Alat/bahan perlu disediakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan
e. Diskusi sebagai pengarahan sebelum siswa melaksanakan kegiatan.
f. Kegiatan metode penemuan oleh siswa berupa penyelidikan/percobaan untuk menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan
g. Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya mental operasional siswa, yang diharapkan dalam kegiatan.
h. Perlu dikembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, yang mengarah pada kegiatan yang dilakukan siswa.
i. Ada catatan guru yang meliputi penjelasan tentang hal-hal yang sulit dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil terutama kalau penyelidikan mengalami kegagalan atau tak berjalan Sebagaimana mestinya.
Sedangkan langkah-langkah inquiry menurut dia meliputi:
a. Menemukan masalah
b. Pengumpulan data untuk memperoleh kejelasan
c. Pengumpulan data untuk mengadakan percobaan
d. Perumusan keterangan yang diperoleh
e. Analisis proses inquiry.
b. Jelas tingkat/kelasnya (dinyatakan dengan jelas tingkat siswa yang akan diberi pelajaran, misalnya SMP kelas III)
c. Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa melalui keglatan tersebut perlu ditulis dengan jelas.
d. Alat/bahan perlu disediakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan
e. Diskusi sebagai pengarahan sebelum siswa melaksanakan kegiatan.
f. Kegiatan metode penemuan oleh siswa berupa penyelidikan/percobaan untuk menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan
g. Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya mental operasional siswa, yang diharapkan dalam kegiatan.
h. Perlu dikembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, yang mengarah pada kegiatan yang dilakukan siswa.
i. Ada catatan guru yang meliputi penjelasan tentang hal-hal yang sulit dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil terutama kalau penyelidikan mengalami kegagalan atau tak berjalan Sebagaimana mestinya.
Sedangkan langkah-langkah inquiry menurut dia meliputi:
a. Menemukan masalah
b. Pengumpulan data untuk memperoleh kejelasan
c. Pengumpulan data untuk mengadakan percobaan
d. Perumusan keterangan yang diperoleh
e. Analisis proses inquiry.
3. Pendekatan konsep :
Terlebih dahulu harus kita ingat bahwa istilah “concept” (konsep) mempunyai beberapa arti. Namun dalam hal ini kita khususkan pada pembahasan yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. Suatu saat seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan benda-benda dengan jalan membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat ditempuh adalah memasukkan suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan mengemukakan beberapa contoh dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis kelompok tersebut. Jalan yang kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal suatu benda atau peristiwa sebagai suatu anggota kelompok tertentu, akibat dan suatu hasil belajar yang dinamakan “konsep”.
Terlebih dahulu harus kita ingat bahwa istilah “concept” (konsep) mempunyai beberapa arti. Namun dalam hal ini kita khususkan pada pembahasan yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. Suatu saat seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan benda-benda dengan jalan membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat ditempuh adalah memasukkan suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan mengemukakan beberapa contoh dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis kelompok tersebut. Jalan yang kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal suatu benda atau peristiwa sebagai suatu anggota kelompok tertentu, akibat dan suatu hasil belajar yang dinamakan “konsep”.
Kita harus memperhatikan pengertian yang paling
mendasar dari istilah “konsep”, yang ditunjukkan melalui tingkah laku individu
dalam mengemukakan sifat-sifat suatu obyek seperti : bundar, merah, halus,
rangkap, atau obyek-obyek yang kita kenal seperti rambut, kucing, pohon dan
rumah. Semuanya itu menunjukkan pada suatu konsep yang nyata (concrete
concept). Gagne mengatakan bahwa selain konsep konkret yang bisa kita pelajari
melalui pengamatan, mungkin juga ditunjukkan melalui definisi/batasan, karena
merupakan sesuatu yang abstrak. Misalnya iklim, massa, bahasa atau konsep
matematis. Bila seseorang telah mengenal suatu konsep, maka konsep yang telah
diperoleh tersebut dapat digunakan untuk mengorganisasikan gejala-gejala yang
ada di dalam kehidupan. Proses menghubung-hubungkan dan mengorganisasikan
konsep yang satu dengan yang lain dilakukan melalui kemampuan kognitif
4. Pendekatan Cara Belajar Stswa Aktif (CBSA)
Pendekatan ini sebenamya telah ada sejak dulu, ialah bahwa di dalam kelas mesti terdapat kegiatan belajar yang mengaktifkan siswa (melibatkan siswa secara aktif). Hanya saja kadar (tingkat) keterlibatan siswa itulah yang berbeda. Kalau dahulu guru lebih banyak menjejalkan fakta, informasi atau konsep kepada siswa, akan tetapi saat ini dikembangkan suatu keterampilan untuk memproses perolehan siswa. Kegiatan belajar-mengajar tidak lagi berpusat pada siswa (student centered).
Pendekatan ini sebenamya telah ada sejak dulu, ialah bahwa di dalam kelas mesti terdapat kegiatan belajar yang mengaktifkan siswa (melibatkan siswa secara aktif). Hanya saja kadar (tingkat) keterlibatan siswa itulah yang berbeda. Kalau dahulu guru lebih banyak menjejalkan fakta, informasi atau konsep kepada siswa, akan tetapi saat ini dikembangkan suatu keterampilan untuk memproses perolehan siswa. Kegiatan belajar-mengajar tidak lagi berpusat pada siswa (student centered).
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau
kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk
merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu, betapapun sederhananya.
Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada iswa sesuai dengan
taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan
keterampilan keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan
mengembangkan sendin fakta dan kosep serta mengembangkan sikap dan nilai yang
dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa
belajar aktif.
Hakekat dad CBSA adalah proses keterlibatan
intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan
terjadinya:
o Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
o Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
o Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien.
o Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
o Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
o Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien.
Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu
dijabarkani menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai
prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati.
Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu
kegiatan belajar mengajar karena memang sengaja dirancang untuk itu.
Prinsip-prinsip CBSA:
Dan uraian di atas kita ketahui bahwa prinsip CBSA
adalah tingkah laku belajar yang mendasarkan pada kegiatan-kegiatan yang
nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses
belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun fisik, Prinsip-Prinsip CBSA
yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi subjek didik :
o Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena memang direnca nakan oleh guru, misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa tanpa ragu-ragu mengeluarkani pendapat.
o Keberanian untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru bersikap demokratis.
o Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang olch guru.
o Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
o Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru.
b. Dimensi Guru
o Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
o Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
o Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
o Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara, mama serta tingkat kemampuan masing-masing.
o Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
c. Dimensi Program
o Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
o Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep mau pun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
o Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
o Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
o Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar.
o Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena memang direnca nakan oleh guru, misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa tanpa ragu-ragu mengeluarkani pendapat.
o Keberanian untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru bersikap demokratis.
o Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang olch guru.
o Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
o Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru.
b. Dimensi Guru
o Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
o Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
o Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
o Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara, mama serta tingkat kemampuan masing-masing.
o Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
c. Dimensi Program
o Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
o Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep mau pun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
o Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
o Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
o Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar.
Memaknai Pendidikan Sebagai Sistem Organik
Pendidikan menurut Ki hajar Dewantara diartikan sebagai daya upaya
untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak.
Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan
hidup anak-anak kita. Pendidikan karakter merupakan bagian penting dan
hendaknya terintegral dalam perilaku pendidikan di negara ini. Namun menilik
fakta pelaksanaan pendidikan yang selama ini di Indonesia sepertinya
belum mengarah kepada pembentukan karakter sebagaimana jati diri bangsa
Indonesia dan bahkan cenderung menurun. Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini dapat
diilustrasikan dalam bagan seperti dibawah ini:
Konsepsi Pendidikan Menurut Ki
Hajar Dewantara
Sedangkan John
Dewey
dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education John Dewey
mengemukakan empat konsep pokok dalam belajar yang harus dilalui oleh seorang
pembelajar sehingga dapat menjadi manusia yang memiliki karakter dan
berperilaku sehat. Keempat aspek tersebut adalah: (1) Learning
to know, (2) Learning to do, (3) Learning to be, dan (4) Learning
to live together. Dua konsep terakhir sangat dekat dengan upaya pendidikan
karakter dan itulah corak akhir dari kehidupan manusia. Sedangkan untuk
mencapai dua yang terakhir, maka siswa perlu melewati dua jenis belajar
sebelumnya yaitu learning to know dan learning to
do.
Ditambahkan oleh Jacques
Delors(
1996) dalam bukunya: Learning : The Treasure Within, menulis
bahwa the
essential features of basic education that teaches pupils how to improve their
lives through knowledge, through experiment, and through the development of
their own personal cultures are preserved. Hal ini mengandung makna bahwa
pendidikan itu hanya akan bermakna jika pembelajar selain memiliki kemampuan
otak, juga memiliki kemampuan memaknai nilai-nilai dari belajarnya.
Mencermati konsep dasar pendidikan diatas, permasalahan pendidikan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang salah satunya adalah rendahnya mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan
dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal,
peningkatan kompetensi guru melalui
pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana
dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun
demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang
berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan
yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah kebijakan dan
penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education
function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai
pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan)
yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan
menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini
menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan
buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya,
dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi.
Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena
selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu
memusatkan pada input pendidikan dan kurang
memperhatikan pada proses pendidikan.
Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Jadi dalam memandang konsepsi input output pendidikan sebagaimana
digambarkan dalam bagan berikut:
Konsepsi input dan output pendidikan sejauh ini merupakan gambaran
mutu pendidikan adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau
jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan
atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input,
proses, dan output pendidikan.
Input pendidikan adalah
segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya
proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta
harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya
meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan,
perlengkapan, uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur
organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana,
program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi,
tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat
diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi
rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat
kesiapan input. Makin
tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input
tersebut.
Proses Pendidikan merupakan
berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap
berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu dari hasil
proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro
(ditingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan,
proses yang dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan
kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses
monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan
tertinggi dibanding dengan proses- proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan
penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum,
uang, peralatan dsb) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan
situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu
mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Kata memberdaykan mengandung arti bahwa peserta didik tidak
sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi
pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati,
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik
tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah
merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang
dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari
kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiendinya, inovasinya,
kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan
dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan
bahwa output sekolah
dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya
prestasi belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam :
(1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum, UNAS, karya ilmiah,
lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ,
kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan
ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan
yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan
pengawasan.
Sehingga kesimpulannya adalah bukan konsepsi input output yang
salah namun cara pandang atau fokus dari pengembangan pendidikan yang selama
ini berjalan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan pendidikan
terlalu terfokus pada input (berapa siswa yang bersekolah) dan output (berapa
siswa yang lulus UNAS). Kedepan ,perlu fokus itu lebih pada pelaksanaan
(proses) pendidikan disekolah, tentang bagaimana pembelajaran dilaksanakan,
media pembelajaran, dan ketersediaan sumber belajar bagi siswa. Sekaligus
sejauhmana kompetensi guru dan tenaga pengajar lainnya beserta alat evaluasi
proses pembelajaran yang dilakukan sekolah.
Untuk memulai hal tersebut perbaikan awal yang harus dilakukan
adalah pembenahan pola manajemen sekolah. Dalam pada pola lama, tugas dan
fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif
merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh
sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam
pengelolan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif dan
partisipasi masyarakt makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola
lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan
birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah didorong
oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi
pendidikan lebih sederhana peranan pusat bergesr dari mengontrol menjadi
mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko
menjadi mengolah resiko, pengunaan uang lebih efesien karena sisa
anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (Effesiensi-based
budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua
warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih
datar sehingga lebih efesien.
POLA LAMA
|
MENUJU
|
POLA BARU
|
Subordinasi
|
===>
|
Otonomi
|
Pengambilan keputusan terpusat
|
===>
|
Pengambilan keputusan partisipasif
|
Ruang gerak kaku
|
===>
|
Ruang gerak luwes
|
Pendekatan birokratik
|
===>
|
Pendekatan profesional
|
Sentralistik
|
===>
|
Disentralistik
|
Diatur
|
===>
|
Motivasi
|
Overegulasi
|
===>
|
Deregulasi
|
Mengontrol
|
===>
|
Mempengaruhi
|
Mengarahkan
|
===>
|
Memfasilitasi
|
Menghindari resiko
|
===>
|
Mengelola resiko
|
Gunakan uang semuanya
|
===>
|
Gunakan uang seefesien
|
Individual yang cerdas
|
===>
|
Teamwork yang cerdas
|
Informasi terpribadi
|
===>
|
Informasi terbagi
|
Pendelegasian
|
===>
|
Pemberdayaan
|
Organisasi herakis
|
===>
|
Organisasi datar
|
Pendidikan harus dimaknai sebagai sistemik-organik,
menekankan bahwa proses pendidikan formal harus memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: Pertama, pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran
(learning) daripada mengajar (teaching). Kedua, pendidikan diorganisasi dalam
suatu struktur yang fleksibel. Ketiga, pendidikan memperlakukan peserta didik
sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri. Keempat,
pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi
dengan lingkungan. Sehingga pada gilirannya pendidikan dapat menjadi jawaban
atas permasalahan yang ada
Comments
Post a Comment