KLASIFIKASI STRATEGI BELAJAR-MENGAJAR


6 April 2010
Klasifikasi Strategi Belajar-Mengajar, Berdasarkan Bentuk dan Pendekatan:
1. Expository dan Discovery/Inquiry :
“Exposition” (ekspositorik) yang berarti guru hanya memberikan informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru sehingga siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya itu, disebut ekspositorik. Hampir tidak ada unsur discovery (penemuan). Dalam suatu pengajaran, pada umumnya guru menggunakan dua kutub strategi serta metode mengajar yang lebih dari dua macam, bahkan menggunakan metode campuran.
Suatu saat guru dapat menggunakan strategi ekspositorik dengan metode ekspositorik juga. Begitu pula dengan discovery/inquiry. Sehingga suatu ketika ekspositorik – discovery/inquiry dapat berfungsi sebagai strategi belajar-mengajar, tetapi suatu ketika juga berfungsi sebagai metode belajar-mengajar.
Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan menyampaikan pesan berturut-turut sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila guru ingin banyak melibatkan siswa secara aktif. Strategi mana yang lebih dominan digunakan oleh guru tampak pada contoh berikut:
Pada Taman kanak-kanak, guru menjelaskan kepada anak-anak, aturan untuk menyeberang jalan dengan menggunakan gambar untuk menunjukkan aturan : Berdiri pada jalur penyeberangan, menanti lampu lintas sesuai dengan urutan wama, dan sebagainya. Dalam contoh tersebut, guru menggunakan strategi ekspositorik. Ia merigemukakan aturan umum dan mengharap anak-anak akan mengikuti/mentaati aturan tersebut.
Dengan menunjukkan sebuah media film yang berjudul “Pengamanan jalan menuju sekolah guru ingin membantu siswa untuk merencanakan jalan yang terbaik dan sekolah ke rumah masing-masing dan menetapkan peraturan untuk perjalanan yang aman dari dan ke sekolah.
Dengan film sebagai media tersebut, akan merupakan strategi ekspositori bila direncanakan untuk menjelaskan kepada siswa tentang apa yang harus mereka perbuat, mereka diharapkan menerima dan melaksanakan informasi/penjelasan tersebut. Akan tetapi strategi itu dapat menjadi discovery atau inquiry bila guru menyuruh anak-anak kecil itu merencanakan sendiri jalan dari rumah masing masing. Strategi ini akan menyebabkan anak berpikir untuk dapat menemukan jalan yang dianggap terbaik bagi dirinya masing-masing. Tugas tersebut memungkinkan siswa mengajukan pertanyaan pertanyaan sebelum mereka sampai pada penemuan-penemuan yang dianggapnya terbaik. Mungkin mereka perlu menguji cobakan penemuannya, kemungkinan mencari jalan lain kalau dianggap kurang baik.
Dan contoh sederhana tersebut dapat kita lihat bahwa suatu strategi yang diterapkan guru, tidak selalu mutlak ekspositorik atau discovery. Guru dapat mengkombinasikan berbagai metode yang dianggapnya paling efektif untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
2. Discovery dan Inquiry :
Discovery (penemuan) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan inquiry (penyelidikan). Discovery (penemuan) adalah proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Proses mental misalnya; mengamati, menjelaskan, mengelompokkan, membuat kesimpulan dan sebagainya. Sedangkan konsep, misalnya; bundar, segi tiga, demokrasi, energi dan sebagai. Prinsip misalnya “Setiap logam bila dipanaskan memuai”. Inquiry, merupakan perluasan dari discovery (discovery yang digunakan lebih mendalam) Artinya, inquiry mengandung proses mental yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya; merumuskan problema, merancang eksperi men, melaksanakan eksperimen, melaksanakan eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis data, membuat kesimpulan, dan sebagainya.
Selanjutnya Sund mengatakan bahwa penggunaan discovery dalam batas-batas tertentu adalah baik untuk kelas-kelas rendah, sedangkan inquiry adalah baik untuk siswa-siswa di kelas yang lebih tinggi. DR. J. Richard Suchman mencoba mengalihkan kegiatan belajar-mengajar dari situasi yang didominasi. guru ke situasi yang melibatkan siswa dalam proses mental melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi, seminar dan sebagainya. Salah satu bentuknya disebut Guided Discovery Lesson, (pelajaran dengan penemuan terpimpin) yang langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Adanya problema yang akan dipecahkan, yang dinyatakan dengan pernyataan atau pertanyaan
b. Jelas tingkat/kelasnya (dinyatakan dengan jelas tingkat siswa yang akan diberi pelajaran, misalnya SMP kelas III)
c. Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa melalui keglatan tersebut perlu ditulis dengan jelas.
d. Alat/bahan perlu disediakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan
e. Diskusi sebagai pengarahan sebelum siswa melaksanakan kegiatan.
f. Kegiatan metode penemuan oleh siswa berupa penyelidikan/percobaan untuk menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan
g. Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya mental operasional siswa, yang diharapkan dalam kegiatan.
h. Perlu dikembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, yang mengarah pada kegiatan yang dilakukan siswa.
i. Ada catatan guru yang meliputi penjelasan tentang hal-hal yang sulit dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil terutama kalau penyelidikan mengalami kegagalan atau tak berjalan Sebagaimana mestinya.
Sedangkan langkah-langkah inquiry menurut dia meliputi:
a. Menemukan masalah
b. Pengumpulan data untuk memperoleh kejelasan
c. Pengumpulan data untuk mengadakan percobaan
d. Perumusan keterangan yang diperoleh
e. Analisis proses inquiry.
3. Pendekatan konsep :
Terlebih dahulu harus kita ingat bahwa istilah “concept” (konsep) mempunyai beberapa arti. Namun dalam hal ini kita khususkan pada pembahasan yang berkaitan dengan kegiatan belajar-mengajar. Suatu saat seseorang dapat belajar mengenal kesimpulan benda-benda dengan jalan membedakannya satu sama lain. Jalan lain yang dapat ditempuh adalah memasukkan suatu benda ke dalam suatu kelompok tertentu dan mengemukakan beberapa contoh dan kelompok itu yang dinyatakan sebagai jenis kelompok tersebut. Jalan yang kedua inilah yang memungkinkan seseorang mengenal suatu benda atau peristiwa sebagai suatu anggota kelompok tertentu, akibat dan suatu hasil belajar yang dinamakan “konsep”.
Kita harus memperhatikan pengertian yang paling mendasar dari istilah “konsep”, yang ditunjukkan melalui tingkah laku individu dalam mengemukakan sifat-sifat suatu obyek seperti : bundar, merah, halus, rangkap, atau obyek-obyek yang kita kenal seperti rambut, kucing, pohon dan rumah. Semuanya itu menunjukkan pada suatu konsep yang nyata (concrete concept). Gagne mengatakan bahwa selain konsep konkret yang bisa kita pelajari melalui pengamatan, mungkin juga ditunjukkan melalui definisi/batasan, karena merupakan sesuatu yang abstrak. Misalnya iklim, massa, bahasa atau konsep matematis. Bila seseorang telah mengenal suatu konsep, maka konsep yang telah diperoleh tersebut dapat digunakan untuk mengorganisasikan gejala-gejala yang ada di dalam kehidupan. Proses menghubung-hubungkan dan mengorganisasikan konsep yang satu dengan yang lain dilakukan melalui kemampuan kognitif
4. Pendekatan Cara Belajar Stswa Aktif (CBSA)
Pendekatan ini sebenamya telah ada sejak dulu, ialah bahwa di dalam kelas mesti terdapat kegiatan belajar yang mengaktifkan siswa (melibatkan siswa secara aktif). Hanya saja kadar (tingkat) keterlibatan siswa itulah yang berbeda. Kalau dahulu guru lebih banyak menjejalkan fakta, informasi atau konsep kepada siswa, akan tetapi saat ini dikembangkan suatu keterampilan untuk memproses perolehan siswa. Kegiatan belajar-mengajar tidak lagi berpusat pada siswa (student centered).
Siswa pada hakekatnya memiliki potensi atau kemampuan yang belum terbentuk secara jelas, maka kewajiban gurulah untuk merangsang agar mereka mampu menampilkan potensi itu, betapapun sederhananya. Para guru dapat menumbuhkan keterampilan-keterampilan pada iswa sesuai dengan taraf perkembangannya, sehingga mereka memperoleh konsep. Dengan mengembangkan keterampilan keterampilan memproses perolehan, siswa akan mampu menemukan dan mengembangkan sendin fakta dan kosep serta mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Proses belajar-mengajar seperti inilah yang dapat menciptakan siswa belajar aktif.
Hakekat dad CBSA adalah proses keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya:
o Proses asimilasi/pengalaman kognitif, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan
o Proses perbuatan/pengalaman langsung, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya keterampilan
o Proses penghayatan dan internalisasi nilai, yaitu: yang memungkinkan terbentuknya nilai dan sikap
Walaupun demikian, hakekat CBSA tidak saja terletak pada tingkat keterlibatan intelektual-emosional, tetapi terutama juga terletak pada diri siswa yang memiliki potensi, tendensi atau kemungkinan kemungkinan yang menyebabkan siswa itu selalu aktif dan dinamis. Oleh sebab itu guru diharapkan mempunyai kemampuan profesional sehingga ia dapat menganalisis situasi instruksional kemudian mampu merencanakan sistem pengajaran yang efektif dan efisien.
Dalam menerapkan konsep CBSA, hakekat CBSA perlu dijabarkani menjadi bagian-bagian kecil yang dapat kita sebut sebagai prinsip-pninsip CBSA sebagai suatu tingkah laku konkret yang dapat diamati. Dengan demikian dapat kita lihat tingkah laku siswa yang muncul dalam suatu kegiatan belajar mengajar karena memang sengaja dirancang untuk itu.
Prinsip-prinsip CBSA:
Dan uraian di atas kita ketahui bahwa prinsip CBSA adalah tingkah laku belajar yang mendasarkan pada kegiatan-kegiatan yang nampak, yang menggambarkan tingkat keterlibatan siswa dalam proses belajar-mengajar baik intelektual-emosional maupun fisik, Prinsip-Prinsip CBSA yang nampak pada 4 dimensi sebagai berikut:
a. Dimensi subjek didik :
o Keberanian mewujudkan minat, keinginan, pendapat serta dorongan-dorongan yang ada pada siswa dalam proses belajar-mengajar. Keberanian tersebut terwujud karena memang direnca nakan oleh guru, misalnya dengan format mengajar melalui diskusi kelompok, dimana siswa tanpa ragu-ragu mengeluarkani pendapat.
o Keberanian untuk mencari kesempatan untuk berpartisipasi dalam persiapan maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar-mengajar maupun tindak lanjut dan suatu proses belajar mengajar. Hal mi terwujud bila guru bersikap demokratis.
o Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu yang memang dirancang olch guru.
o Kreatifitas siswa dalam menyelesaikan kegiatan belajar sehingga dapat mencapai suatu keberhasilan tertentu, yang memang dirancang oleh guru.
o Peranan bebas dalam mengerjakan sesuatu tanpa merasa ada tekanan dan siapapun termasuk guru.
b. Dimensi Guru
o Adanya usaha dan guru untuk mendorong siswa dalam meningkatka kegairahan serta partisipasi siswa secara aktif dalam proses belajar-mengajar.
o Kemampuan guru dalam menjalankan peranannya sebagai inovator dan motivator.
o Sikap demokratis yang ada pada guru dalam proses belajar-mengajar.
o Pemberian kesempatan kepada siswa untuk belajar sesuai dengan cara, mama serta tingkat kemampuan masing-masing.
o Kemampuan untuk menggunakan berbagai jenis strategi belajar-mengajar serta penggunaan multi media. Kemampuan mi akan menimbulkan lingkuñgan belajar yang merangsang siswa untuk mencapai tujuan.
c. Dimensi Program
o Tujuan instruksional, konsep serta materi pelajaran yang memenuhi kebutuhan, minat serta kemampuan siswa; merupakan suatu hal yang sangat penting diperhatikan guru.
o Program yang memungkinkan terjadinya pengembangan konsep mau pun aktivitas siswa dalam proses belajar-mengajar.
o Program yang fleksibel (luwes); disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
d. Dimensi situasi belajar-mengajar
o Situasi belajar yang menjelmakan komunikasi yang baik, hangat, bersahabat, antara guru-siswa maupun antara siswa sendiri dalam proses belajar-mengajar.
o Adanya suasana gembira dan bergairah pada siswa dalam proses belajar-mengajar.

Memaknai Pendidikan Sebagai Sistem Organik

Pendidikan menurut Ki hajar Dewantara diartikan sebagai daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita. Pendidikan karakter merupakan bagian penting dan hendaknya terintegral dalam perilaku pendidikan di negara ini. Namun menilik fakta pelaksanaan pendidikan yang selama ini  di Indonesia sepertinya belum mengarah kepada pembentukan karakter sebagaimana jati diri bangsa Indonesia dan bahkan cenderung menurun. Pemikiran Ki Hajar Dewantara ini dapat diilustrasikan dalam bagan seperti dibawah ini:
http://hafismuaddab.files.wordpress.com/2010/12/khd.jpg?w=300&h=231
Konsepsi Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara
Sedangkan John Dewey dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education John Dewey mengemukakan empat konsep pokok dalam belajar yang harus dilalui oleh seorang pembelajar sehingga dapat menjadi manusia yang memiliki karakter dan berperilaku sehat. Keempat aspek tersebut adalah: (1) Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to be, dan (4) Learning to live together. Dua konsep terakhir sangat dekat dengan upaya pendidikan karakter dan itulah corak akhir dari kehidupan manusia. Sedangkan untuk mencapai dua yang terakhir, maka siswa perlu melewati dua jenis belajar sebelumnya yaitu learning to know dan learning to do.
Ditambahkan oleh Jacques Delors( 1996) dalam bukunya: Learning : The Treasure Within, menulis bahwa the essential features of basic education that teaches pupils how to improve their lives through knowledge, through experiment, and through the development of their own personal cultures are preserved. Hal ini mengandung makna bahwa pendidikan itu hanya akan bermakna jika pembelajar selain memiliki kemampuan otak, juga memiliki kemampuan memaknai nilai-nilai dari belajarnya.
Mencermati konsep dasar pendidikan diatas, permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang salah satunya adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education function atau input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan educational production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
Jadi dalam memandang konsepsi input output pendidikan sebagaimana digambarkan dalam bagan berikut:
http://hafismuaddab.files.wordpress.com/2010/12/images.jpg?w=300&h=114
Konsepsi input dan output pendidikan sejauh ini merupakan gambaran mutu pendidikan adalah gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan.
Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran- sasaran yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses yang dimaksud adalah proses pengembilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi dibanding dengan proses- proses lainnya.
Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan dsb) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdaykan mengandung arti bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar secara terus menerus (mampu mengembangkan dirinya).
Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiendinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan  dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan  bahwa output sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khusunya prestasi  belajar siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam :  (1) prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum,  UNAS, karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran, dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan (proses) seperti misalnya perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.
Sehingga kesimpulannya adalah bukan konsepsi input output yang salah namun cara pandang atau fokus dari pengembangan pendidikan yang selama ini berjalan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan pendidikan terlalu terfokus pada input (berapa siswa yang bersekolah) dan output (berapa siswa yang lulus UNAS). Kedepan ,perlu fokus itu lebih pada pelaksanaan (proses) pendidikan disekolah, tentang bagaimana pembelajaran dilaksanakan, media pembelajaran, dan ketersediaan sumber belajar bagi siswa. Sekaligus sejauhmana kompetensi guru dan tenaga pengajar lainnya beserta alat evaluasi proses pembelajaran yang dilakukan sekolah.
Untuk memulai hal tersebut perbaikan awal yang harus dilakukan adalah pembenahan pola manajemen sekolah. Dalam pada pola lama, tugas dan fungsi sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolan lembaganya, pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif dan partisipasi masyarakt makin besar, sekolah lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik, perubahan sekolah didorong oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana peranan pusat bergesr dari mengontrol menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi mengolah  resiko, pengunaan uang lebih efesien karena sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran tahun depan (Effesiensi-based budgeting), lebih mengutamakan teamwork, informasi terbagi  ke semua warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan, dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih efesien.
POLA LAMA
MENUJU
POLA BARU
Subordinasi
===>
Otonomi
Pengambilan keputusan terpusat
===>
Pengambilan keputusan partisipasif
Ruang gerak kaku
===>
Ruang gerak luwes
Pendekatan birokratik
===>
Pendekatan profesional
Sentralistik
===>
Disentralistik
Diatur
===>
Motivasi
Overegulasi
===>
Deregulasi
Mengontrol
===>
Mempengaruhi
Mengarahkan
===>
Memfasilitasi
Menghindari resiko
===>
Mengelola resiko
Gunakan uang semuanya
===>
Gunakan uang seefesien
Individual yang cerdas
===>
Teamwork yang cerdas
Informasi terpribadi
===>
Informasi terbagi
Pendelegasian
===>
Pemberdayaan
Organisasi herakis
===>
Organisasi datar
Pendidikan harus dimaknai sebagai sistemik-organik,  menekankan bahwa proses pendidikan formal harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching). Kedua, pendidikan diorganisasi dalam suatu struktur yang fleksibel. Ketiga, pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri. Keempat, pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan. Sehingga pada gilirannya pendidikan dapat menjadi jawaban atas permasalahan yang ada

Comments